Oleh: Suntoyo, S.Si
Digitalisasi Jalan Terus, Tapi Komunikasi Masih Nyalain Lampu Senter
Kita hidup di era di mana anak kelas 4 sudah bisa install aplikasi, tapi… guru dan tata usaha (TU) di sekolah kadang masih kirim data lewat flashdisk muter. Padahal katanya sekolah sudah “digital”. Ada guru yang lancar bikin Google Form, tapi bingung upload SK ke Drive. Di sisi lain, TU update EMIS sampai malam, disaat orang sudah pada tidur disitulah Operator malah mulai kerja, bukan alap alap ya…. Tapi nunggu jaringan lancar… meskipun bajet kadang kurang lancar, ditambah pula datanya bolong karena guru belum isi data lengkap. Akhirnya? Yang satu bilang, “TU lambat amat.” Yang lain jawab, “Guru nggak mau ngasih data!”
Pertanyaannya sederhana: Apakah guru dan TU sudah satu frekuensi? Atau masih seperti dua headset Bluetooth yang saling rebutan sinyal?
TU Banjir Data, Guru Banjir Tugas
Sebagai KTU dan Operator di madrasah swasta, saya sering berada di jalur cepat—bukan karena ngebut, tapi karena semua orang cari saya. “Pak, SIMPATIKA kenapa ya?” “Pak, akun RDM nggak bisa login.” “Pak, saya lupa password jadi nggak bisa masuk.” “Pak, udah upload data belum ke EMIS?” Lalu saya senyum manis, padahal hati sudah RAM-nya merah.
Di sisi lain, para guru juga tidak kalah sibuk. Mengajar, menilai, menyusun modul, kadang disambi jadi wali kelas, bendahara kelas, hingga konselor tidak resmi. Meski tidak sedikit yang ngobrolin “tetangga” kelas! Bahkan ada yang ngobrolin gaya hidup, harga baju sampai harga lipstik, nggak kalah viralnya dengan harga cabai di Pajak Kampung Lalang
Jadinya?
Semua orang sibuk, tapi tidak semua saling terhubung.
Bukan di Jaringan, Tapi di Nyambungnya
Kebanyakan masalah bukan di internet, tapi di interaksi. Bukan karena koneksi lemot, tapi karena komunikasi belum nyambung. TU merasa sudah kerja maksimal, tapi guru merasa tidak didampingi. Guru merasa “data itu tanggung jawab TU”, TU merasa “kalau datanya nggak dikasih, mau diolah pakai daun?”
Digitalisasi sekolah tidak cukup hanya dengan aplikasi. Perlu sinergi manusia.
Karena EMIS bisa online 24 jam, tapi hubungan guru–TU bisa offline sepanjang tahun.
Bahkan ada istilah Operator itu seperti Peng-EMIS data dan Guru sebagai The Knowledge Dispenser
Kuncinya Bukan Teknologi, Tapi Kolaborasi
Berikut ini beberapa praktik yang bisa diterapkan agar TU dan guru tidak hanya “satu WiFi”, tapi juga “satu hati”:
- Folder Drive Bersama, Bukan Flashdisk Keliling
Kami buat folder Google Drive per tahun ajaran. Isinya? Semua dokumen yang sering diminta TU: data siswa, presensi, lampiran BOS, sampai surat tugas. Jadi nggak ada lagi yang bilang, “Pak, saya lupa bawa flashdisk.” Karena sekarang jawabannya: “Cek Drive, Pak, sudah saya unggah sambil nunggu Maghrib tadi.”
2. Koordinasi Singkat Tapi Rutin
Setiap awal bulan, kami adakan “Briefing Kilat”. 15 menit saja, cukup sambil ngopi atau makan keripik. Tapi di situlah kami saling update: Siapa belum isi data PTK? Siapa lupa unggah absen mingguan? Siapa belum tanda tangan? (Ini biasanya yang bikin TU jantung naik-turun.)
3. Kalender Digital Sekolah
Kami pakai Google Calendar untuk semua:
- Jadwal EMIS
- Revisi E-Erkam
- Emis Gtk
- Jadwal ANBK
- Tanggal upload BOS
- Pelatihan guru
- Dan ya… termasuk ulang tahun staf. Biar semua saling ingat dan saling traktir.
Lebih Banyak di Sikap, Bukan di Sistem
Digitalisasi berjalan cepat. Tapi manusia tidak bisa di-install seperti aplikasi. Beberapa tantangan yang kami hadapi:
- Gap Digital
Guru senior kadang geleng-geleng lihat Google Sheet. Staf muda kadang terlalu cepat jalan sendiri.
Solusinya? “Pelan-pelan dan bareng-bareng.”
Kami adakan pelatihan ringan, tanpa slide tebal, cukup duduk bareng dan belajar bareng.
2. Sekat Jabatan
Kadang ada yang berkata, “Itu bukan kerjaan saya, Pak, itu urusan TU.”
Padahal di sekolah, semua urusan adalah urusan bersama. Kalau data salah, yang kena bukan cuma satu pihak. Makanya kami biasakan budaya “kerja bantu-bantu, bukan bagi-bagi.”
3. Ego Lembut Tapi Merayap
Ada saat di mana kita merasa, “Saya sudah sibuk, masa harus bantu TU juga?” Tapi kami percaya, semakin sering saling paham, semakin ringan semua terasa. Lagi pula, siapa sih yang mau kerja sendirian terus? Suuuuuepiiii tenan…. seperti surat pernyataan, rasanya nggak tahan kalau nggak ditempelin sama yang namanya materai.
Ketika Guru dan TU Satu Frekuensi, Sekolah Jadi Lebih Waras
Di sekolah, yang paling penting bukan seberapa canggih aplikasi yang kita pakai, tapi seberapa kompak kita bekerja. TU yang solid tidak hanya butuh data lengkap, tapi juga guru yang peduli. Guru yang hebat tidak hanya butuh kurikulum kuat, tapi juga administrasi yang lancar.
Kalau keduanya sudah satu frekuensi, maka:
- Tidak ada lagi data EMIS yang bolong
- Tidak ada lagi file BOS hilang di folder “new folder (7)”
- Tidak ada lagi operator yang mumet sendirian di depan laptop saat tengah malam
Dan sekolah pun berjalan lebih tenang, bukan karena semua sempurna, tapi karena semua saling menguatkan. suit uit…
Jadi, Bapak/Ibu guru, staf TU, kepala sekolah/madrasah…
Coba tanya ke diri sendiri: Sudahkah kita satu frekuensi? Atau masih perlu restart niat dan komunikasi?
Tinggalkan Balasan