Ketika Anak SD Diberi Masalah Nyata: PBL di Tengah Lampu Mati dan Sinyal Hilang

Oleh: Suntoyo, S.Si — SD Negeri 105267 Sei Mencirim

Belajar Bukan Hanya Soal Buku, Tapi Juga Listrik dan Sinyal

Di SD Negeri 105267 Sei Mencirim, bel sekolah mungkin berbunyi sama seperti di tempat lain, tapi tantangannya? Jangan ditanya. Listrik kadang mati seenaknya—bahkan sebelum matahari tenggelam. Sinyal internet juga suka main petak umpet. Yang kalah ya kita, para guru dan murid yang harus tetap “sadar pembelajaran” walau dunia gelap gulita dan WhatsApp tak kunjung centang biru.

Tapi justru dari keterbatasan inilah muncul ide segar: bagaimana kalau kita jadikan masalah ini sebagai bahan belajar? Maka lahirlah sebuah eksperimen: Problem Based Learning alias PBL. Bukan PBB, ya, Pak Bu. Kalau PBB itu urusan dunia, kalau PBL ini urusan kelas kita.

Bukan Mengeluh, Tapi Mencari Jalan Keluar

PBL itu sederhananya begini: anak-anak diberi masalah yang nyata, bukan soal “jika Pak Budi membeli 3 apel…” yang bahkan Pak Budi-nya pun kita nggak kenal.

Kita angkat masalah sehari-hari, seperti: “Listrik mati malam-malam, sinyal lenyap saat Zoom, lalu bagaimana anak bisa belajar?”

Anak-anak SD memang kecil, tapi jangan remehkan otaknya. Begitu diberi masalah seperti itu, mereka langsung heboh:

“Pak, kita bikin lampu dari botol aqua aja, kayak di YouTube!”
“Pak, aku bisa belajar pakai lilin kok, asal nggak ditiup adikku!”
“Pak, bikin poster aja deh, ‘Belajar Tanpa Sinyal Bukan Akhir Dunia’!”

Luar biasa. Saya yang guru ini sampai mau tepuk jidat dan tepuk tangan sekaligus.

Sinyal Hilang, Tapi Ide Mereka Nyalanya Terus

Saat pelajaran IPAS kelas 4 membahas “Sumber Energi”, saya ubah pendekatannya. Bukan lagi ceramah soal panel surya atau batu bara, tapi saya buka dengan cerita:

“Andi ingin belajar malam hari, tapi lampu padam dan sinyal lenyap. Apa yang bisa dilakukan Andi?”

Bukan hanya Andi yang bingung. Teman-teman Andi juga punya cerita serupa. Maka mulailah mereka berdiskusi dalam kelompok. Bukan sekadar adu pendapat, tapi adu ide, adu kreatif, dan… sedikit adu volume juga (maklum, anak SD).

Solusi mereka?

  • Kotak Belajar Darurat: senter, daftar hafalan, buku cerita.
  • Jadwal Belajar Mandiri: belajar pagi sebelum ayam berkokok, atau siang saat listrik biasanya masih ramah.
  • Komik “Belajar dalam Gelap”: kisah anak-anak yang belajar pakai lilin dan semangat.
  • Mini Lampu Surya: usulan bikin lampu tenaga matahari dari bekas botol air (meski akhirnya lebih banyak sinarnya dari semangat, bukan dari teknologinya).

Belajar Tanpa Terasa Diceramahi

Penerapan PBL ini saya lakukan melalui enam tahap ringan:

  1. Pancing masalahnya – bukan dengan kail, tapi dengan cerita nyata.
  2. Kumpulkan ide dan informasi – bisa dari buku, pengalaman, bahkan omongan tetangga.
  3. Diskusi rame-rame – di sinilah mereka saling belajar, saling “menginterupsi”, dan akhirnya saling mengerti.
  4. Bangun solusi – bukan bangunan sungguhan, tapi rencana, poster, mini proyek.
  5. Presentasi hasilnya – kadang malu-malu, kadang malah rebutan mau maju.
  6. Refleksi dan tepuk dada (bukan dada orang lain) – mereka menyadari bahwa belajar bisa datang dari hal kecil, dan guru menyadari: anak-anak ini luar biasa kalau dikasih ruang berpikir.

Anak SD Juga Bisa Jadi Problem Solver

Bukan cuma dapat nilai, anak-anak juga dapat rasa percaya diri, rasa memiliki, dan rasa ingin tahu yang tumbuh alami. Seorang murid bahkan pulang ke rumah dan berkata ke ibunya:

“Bu, kalau lampu mati, aku tetap bisa belajar. Pak Suntoyo bilang, cahaya itu bisa dari dalam hati.”

Saya langsung pengen pensiun bahagia saat dengar cerita itu.

Sebagai guru, kita kadang berpikir anak-anak harus diberi semua jawaban. Padahal, yang mereka butuhkan adalah kesempatan untuk bertanya dan mencari sendiri. Itulah kekuatan PBL: membangun nalar, bukan hanya menyalin jawaban.

Di Balik Gelap, Ada Cahaya Bernama PBL

Mengajar di daerah seperti Sei Mencirim bukan hal mudah. Tapi justru karena tidak mudah, maka harus dicari cara yang bermakna dan menyentuh kehidupan anak. Problem Based Learning bukan cuma metode keren dalam Kurikulum Merdeka. Ia adalah jembatan antara dunia nyata dan ruang kelas.

Kita bisa mulai dari hal kecil: cerita sederhana, pertanyaan lucu, atau masalah sehari-hari yang kadang membuat guru ikut geleng-geleng kepala. Tapi justru dari situlah anak-anak tumbuh. Bukan hanya jadi siswa, tapi jadi pemikir kecil dengan hati besar.

Jadi, saat listrik mati dan sinyal hilang lagi, jangan panik.
Tenang saja…
Murid-murid kita sudah siap jadi pembelajar yang tak bergantung pada colokan listrik, tapi terhubung langsung dengan kehidupan.

Salam Bapak/Ibu Guru Hebat !!!
Semangat mendidik anak Bangsa!!!


Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *