“Joyful Learning yang Membuat Anak Tak Ingin ‎Pulang” ‎(Model: Deep Learning – Joyful + Meaningful)‎

Oleh: Suntoyo, S.Si., SD Negeri 105267 Sei Mencirim

Di SD Negeri 105267 Sei Mencirim, bel pulang sekolah sering menjadi waktu yang tak ditunggu-tunggu. Aneh, bukan? Justru ketika lonceng berbunyi, beberapa anak masih asyik menggambar, berdiskusi, atau menulis cerita. Bahkan ada yang spontan berkata, “Pak, sebentar lagi ya, kami belum selesai!” Fenomena seperti ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari proses belajar yang tidak hanya mengejar kurikulum, tapi juga menghidupkan rasa ingin tahu. Ketika kelas bukan lagi tempat menegangkan, tapi ruang eksplorasi yang menyenangkan, maka belajar menjadi bagian dari kegembiraan, bukan tekanan.

Kita sering lupa bahwa dunia anak-anak penuh warna, suara, dan rasa. Mereka tidak dibangun untuk duduk diam berjam-jam menghafal. Mereka belajar dengan bergerak, bertanya, bercerita, dan bermain. Maka tugas pendidik bukan sekadar menyampaikan materi, tapi menciptakan suasana belajar yang membuat anak lupa bahwa mereka sedang “belajar”. Itulah makna dari pembelajaran yang joyful dan meaningful.

Dalam banyak ruang kelas, metode hafalan masih mendominasi. Buku teks dibaca keras-keras, lalu siswa diminta mengulanginya di rumah. Penguatan karakter dibacakan dalam bentuk slogan. Bahkan mata pelajaran seperti PPKn dan Bahasa Indonesia masih disajikan dengan pendekatan kaku: hafal definisi, ingat urutan, salin ulang. Padahal, menurut penelitian Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus bersifat menyenangkan, mengalir, dan berpusat pada anak.

Hasil dari budaya hafalan adalah pengetahuan yang rapuh. Anak tahu jawaban hari ini, tapi lupa esok hari. Mereka sulit menjelaskan konsep dalam kata-kata sendiri, dan cenderung pasif ketika diminta berdiskusi. Lebih dari itu, hafalan membuat mereka takut salah. Takut membuat pertanyaan. Takut mencoba.

Guru pun akhirnya terjebak dalam pola yang sama. Dikejar target kurikulum, penilaian administratif, dan kekhawatiran nilai rapor. Akibatnya, pembelajaran menjadi datar. Relasi guru-murid kehilangan kehangatan. Padahal, seperti kata Paulo Freire, pendidikan sejati tumbuh dari dialog, bukan dari ceramah satu arah.

Pergeseran ke arah joyful learning adalah kebutuhan mendesak, bukan pilihan. Anak-anak kita bukan mesin penghafal. Mereka adalah penjelajah dunia kecil yang butuh ruang, bimbingan, dan pengalaman bermakna.

Joyful learning bukan sekadar belajar sambil bermain. Ia adalah pendekatan holistik yang mengajak anak terlibat aktif dalam pembelajaran, merasakan kesenangan, dan memahami makna dari apa yang mereka pelajari. Deep learning adalah inti dari pendekatan ini: anak tidak hanya tahu, tetapi paham dan mampu mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata.

Menurut Huda (2014), joyful learning melibatkan emosi positif dalam proses belajar. Emosi inilah yang memperkuat ingatan, membangun relasi antarsiswa, dan menciptakan suasana kelas yang mendukung eksplorasi. Sementara Fullan (2014) menegaskan bahwa deep learning terjadi ketika siswa membangun keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan empati.

Pembelajaran yang bermakna tidak harus rumit. Ia bisa dimulai dari pertanyaan sederhana: “Pernahkah kamu merasa takut berbicara di depan kelas? Kenapa bisa begitu?” Dari situ, kelas bisa berkembang menjadi ruang saling dukung. Siswa belajar berbicara, mendengarkan, dan memahami perspektif.

Dalam kurikulum merdeka, joyful learning diperkuat melalui pembelajaran berdiferensiasi dan projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5). Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan masa kini harus berpusat pada anak, dan membebaskan mereka dari tekanan yang tidak perlu.

Di SD Negeri 105267 Sei Mencirim, saya mencoba menerapkan joyful learning dengan mengangkat topik-topik yang dekat dengan dunia anak, misalnya: “Kenapa teman kita suka menyendiri?” atau “Bagaimana caranya menabung kalau uang jajannya sedikit?” Topik ini digunakan pada pelajaran PPKn, Matematika, dan Bahasa Indonesia.

Dalam pelajaran Matematika, misalnya, kami membuat simulasi kantin sekolah. Anak-anak membawa benda bekas sebagai “barang dagangan” dan diberi uang kertas mainan. Mereka belajar menghitung, menjumlahkan, dan memberi kembalian sambil tertawa dan berdiskusi. Mereka tidak menyadari bahwa sedang belajar pecahan dan pengurangan. Tapi hasilnya luar biasa: pemahaman mereka lebih kuat, dan keberanian mereka meningkat.

Dalam Bahasa Indonesia, kami mengadakan “panggung cerita pendek”. Anak-anak menulis cerita dari pengalaman pribadi lalu membacakannya di depan teman. Mereka belajar menulis narasi, melatih ekspresi, dan mendengarkan secara aktif. Bahkan anak yang pendiam pun mulai berani tampil karena tahu bahwa cerita mereka dihargai.

Joyful learning juga kami lakukan melalui pengamatan lingkungan sekitar. Saat membahas tema “kehidupan sosial”, kami mengajak anak mewawancarai tetangga yang bekerja sebagai tukang parkir, penjual sayur, atau guru mengaji. Mereka menulis hasilnya sebagai laporan kecil. Dengan begitu, belajar tidak hanya di kelas, tapi juga dari masyarakat.

Hasil dari pendekatan ini sangat terasa. Anak-anak lebih antusias datang ke sekolah. Mereka tidak takut bertanya, bahkan saling membantu memahami pelajaran. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, tapi fasilitator dan pendamping.

Nilai bukan lagi satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Kami melihat perubahan dalam sikap: anak menjadi lebih percaya diri, lebih empatik, dan lebih kolaboratif. Mereka terbiasa bekerja dalam kelompok, menghargai pendapat, dan tidak takut salah. Bahkan guru pun merasakan perubahan. Kelas menjadi lebih hidup. Kegiatan belajar menjadi momen yang dinantikan, bukan ditakuti.

Salah satu wali murid pernah berkata, “Dulu anak saya suka pura-pura sakit biar nggak sekolah. Sekarang, kalau libur malah sedih. Katanya, ‘Di rumah nggak seru, Ma, nggak ada teman ngobrol.’” Itu testimoni paling tulus tentang joyful learning.

Tentu saja tantangan tetap ada: waktu terbatas, administrasi banyak, dan fasilitas belum lengkap. Tapi semua itu bisa diatasi dengan semangat kolaborasi, kreativitas guru, dan dukungan kepala sekolah. Di tengah keterbatasan, semangat belajar bisa tetap tumbuh.

Pembelajaran yang menyenangkan bukan berarti tanpa target. Ia tetap terarah, namun membebaskan. Ia tetap menilai, namun tidak menghakimi. Ketika guru menyadari bahwa belajar adalah pengalaman yang harus dinikmati, maka kelas berubah menjadi ruang yang menggairahkan.

Anak-anak tidak lagi sekadar belajar untuk ulangan. Mereka belajar untuk hidup. Untuk memahami diri, memahami orang lain, dan membangun dunia yang lebih baik. Dan kita, sebagai guru, adalah arsitek dari pengalaman itu.

Kita mungkin tidak bisa memberikan semua fasilitas modern. Tapi kita bisa memberi yang paling dibutuhkan anak: perhatian, pemahaman, dan ruang untuk tumbuh. Karena pada akhirnya, guru yang mengajar dengan hati akan selalu membekas dalam ingatan murid, jauh melebihi isi bukunya.

Referensi :

Fullan, M. (2014). Deep Learning: Engage the World, Change the World. Ontario: Michael Fullan Enterprises.

Huda, M. (2014). Joyful Learning: Membangun Pembelajaran yang Menyenangkan dan Bermakna. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Freire, P. (2005). Pendidikan Kaum Tertindas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dewantara, K.H. (2009). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.

Kemendikbudristek. (2022). Panduan Pembelajaran dan Asesmen di SD. Jakarta: Direktorat Jenderal GTK.

Jensen, E. (2005). Teaching with the Brain in Mind. ASCD.

Tomlinson, C.A. (2017). How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms. ASCD.

Marzano, R.J. (2003). Classroom Instruction that Works. Alexandria: ASCD.

Robinson, K. (2011). Out of Our Minds: Learning to Be Creative. Wiley.

Zins, J.E. et al. (2004). Building Academic Success on Social and Emotional Learning. New York: Teachers College Press.

Dweck, C. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Random House.

Sugiyanto. (2017). Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: UNY Press.

Susanto, A. (2013). Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana.

Trilling, B. & Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass.

Lickona, T. (1991). Educating for Character. New York: Bantam Books.

Kemdikbudristek. (2022). Kurikulum Merdeka: Konsep dan Implementasi. Diakses dari https://kurikulum.kemdikbud.go.id

Direktorat Jenderal GTK. (2023). Modul Ajar Kurikulum Merdeka. Diakses dari https://guru.kemdikbud.go.id

UNESCO. (2020). Futures of Education: Learning to Become. Diakses dari https://en.unesco.org/futuresofeducation

Edutopia. (2021). Why Joyful Learning Matters in the Classroom. Diakses dari https://www.edutopia.org/article/why-joyful-learning-matters

World Bank Education. (2022). Teaching and Learning in Developing Countries. Diakses dari https://www.worldbank.org/en/topic/education


Komentar

2 tanggapan untuk ““Joyful Learning yang Membuat Anak Tak Ingin ‎Pulang” ‎(Model: Deep Learning – Joyful + Meaningful)‎”

  1. Avatar Dara Melina
    Dara Melina

    Mantap pak 👍

  2. Avatar Tiolita

    Setuju pak, sekolah menjadi tempat menyenangkan ketika para guru mampu menciptakan lingkungan aman dan menyenangkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *