Diferensiasi konten, proses, produk – pendekatan inklusif dan humanis
Setiap Anak Datang dengan Cerita yang Berbeda
Di SD Negeri 105267 Sei Mencirim, kelas IV kebetulan masuk siang. Saat anak-anak datang, cuaca sedang panas terik, jalanan berdebu, dan suara kipas angin bersaing dengan keramaian lalu lintas. Kadang hujan tiba-tiba turun deras, membuat anak-anak datang dengan baju basah dan kaki belepotan lumpur. Tapi tetap, mereka datang dengan semangat, ada yang langsung membuka buku, ada yang menggambar, ada pula yang melamun menatap jendela.
“Pak, saya belum ngerti!” kata Ridho. “Pak, boleh saya buat gambar saja?” tanya Feby sambil mengeluarkan semua peralatan gambar-nya.
Dan di sinilah titik refleksi itu muncul: bagaimana satu guru bisa mengajar semua murid yang berbeda ini dengan adil dan bermakna?
Diferensiasi Itu Bukan Cuma Gaya Belajar
Selama ini, banyak yang menyamakan diferensiasi dengan gaya belajar. “Anak ini visual, kasih gambar. Anak itu auditori, kasih rekaman.” Sayangnya, kalau hanya sebatas itu, kita sedang menyederhanakan hal yang kompleks.
Diferensiasi bukan tentang memberi tugas yang berbeda agar anak senang. Bukan juga tentang membuat guru kelelahan karena harus membuat lima jenis LKS. Esensinya jauh lebih dalam: ini soal memahami siapa anak itu, latar belakangnya, minatnya, kecepatannya memahami, dan caranya mengekspresikan diri.
Mengajar berbeda bukan berarti tidak adil. Justru memberi hal yang sama kepada semua anak yang berbeda, itulah ketidakadilan sejati.
Tiga Ranah Diferensiasi
Model pembelajaran berdiferensiasi yang diperkenalkan oleh Carol Ann Tomlinson menggarisbawahi tiga titik penting:
Diferensiasi Konten
Menyesuaikan apa yang dipelajari anak. Misalnya dalam topik IPA tentang makhluk hidup, anak yang cepat menangkap bisa diberi bahan tambahan (misalnya video dokumenter), sedangkan anak yang masih kesulitan diberi bacaan bergambar yang lebih sederhana.
Diferensiasi Proses
Menyesuaikan bagaimana anak belajar. Misalnya: satu kelompok belajar dengan eksperimen, satu kelompok belajar lewat bermain peran, satu kelompok lagi belajar lewat membaca dan diskusi.
Diferensiasi Produk
Menyesuaikan hasil akhir yang diharapkan dari proses belajar. Dalam satu tugas proyek, anak boleh memilih presentasi digital, gambar poster, atau menceritakan lewat vlog sederhana.
Kunci dari semuanya bukan pada banyaknya pilihan, tetapi pada kesesuaian pilihan dengan profil belajar anak.
Cerita dari Kelas
Di SD Negeri 105267 Sei Mencirim, guru kelas IV pernah mengajarkan tentang cerita rakyat. Guru memulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran, lalu memberikan pilihan tugas yang sesuai dengan minat dan kekuatan masing-masing siswa. Pilihannya ada tiga:
1. Menulis ulang cerita dalam bentuk karangan: Cocok untuk siswa yang suka menulis dan berpikir runtut. Mereka diberi waktu menulis di kelas dan boleh melanjutkan di rumah.
2. Membuat komik dari cerita: Disediakan lembar kosong dan contoh panel komik. Siswa menggambar dan menulis dialog sesuai alur cerita. Banyak siswa yang biasanya pasif ternyata sangat ekspresif di sini.
3. Bermain peran (drama mini): Dibentuk kelompok kecil, memilih cerita dan membagi peran. Anak-anak yang suka bicara dan bergerak jadi sangat antusias. Bahkan yang pemalu mulai mencoba tampil.
Hasilnya? Anak yang biasanya diam, mulai bicara saat bermain peran. Anak yang kurang percaya diri, dengan bangga menunjukkan gambar komiknya. Dan anak yang suka menulis, menulis dengan penuh semangat. Guru pun melihat, bahwa anak-anaknya sebenarnya cerdas, hanya butuh jalan yang sesuai.
Menerapkan Diferensiasi di Kelas
a. Mulai dari Pemetaan Murid, Sebelum memulai pembelajaran, guru perlu mengenali siapa anak-anak di kelasnya. Gunakan kuis ringan, diskusi, atau survei minat untuk mengetahui gaya belajar, kesiapan, dan preferensi siswa. Pemetaan ini menjadi fondasi utama dalam merancang aktivitas yang relevan.
b. Rancang Menu Belajar yang Variatif , Sediakan pilihan kegiatan belajar, bisa dalam bentuk Learning Menu (menu tugas) atau Choice Board. Contohnya: “Pilih dua dari tiga kegiatan berikut: membuat poster, menulis cerita pendek, atau membuat video pendek.” Ini memberi siswa ruang memilih cara belajar yang mereka sukai.
c. Atur Zona Belajar yang Fleksibel, Tata ruang kelas agar mendukung fleksibilitas: pojok membaca, zona eksperimen, area menggambar. Anak-anak bisa berpindah tempat sesuai kegiatan. Gunakan timer untuk mengatur waktu agar semua anak tetap fokus.
d. Gunakan Kelompok Dinamis, Bentuk kelompok berdasarkan minat atau kemampuan yang berbeda. Hindari kelompok tetap atau berdasarkan “anak pintar” dan “anak lambat”. Dinamika kelompok yang berganti akan menumbuhkan kerja sama dan empati.
e. Lakukan Refleksi Bersama, Di akhir pelajaran, ajak anak-anak menulis refleksi: “Apa yang saya pelajari hari ini? Apa yang paling saya sukai? Apa yang ingin saya pelajari lagi?” Dari sini, guru mendapat masukan berharga untuk memperbaiki pendekatan ke depan.
Mengajar dengan Hati, Bukan Sekadar Strategi
Pembelajaran berdiferensiasi bukan proyek sesaat. Ini adalah perubahan paradigma: dari melihat anak sebagai objek didik menjadi melihat mereka sebagai subjek belajar. Setiap anak itu unik, dan pendekatan kita haruslah humanis dan inklusif.
Di balik semua teknik dan strategi, kunci utama keberhasilan diferensiasi adalah hati guru itu sendiri. Mau mendengar, mau memahami, dan mau memberi ruang bagi setiap potensi.
“Anak-anak tak selalu butuh guru yang hebat, tapi mereka butuh guru yang melihat mereka sebagai pribadi.”
Dan sebagai penutup, mari kita resapi peribahasa dari negeri Perancis: “Didiklah anak dengan hatimu, bukan hanya dengan kepalamu.”
DAFTAR PUSTAKA
Tomlinson, C. A. (2017). How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms. ASCD.
Hall, T., Strangman, N., & Meyer, A. (2003). Differentiated Instruction and Implications for UDL Implementation. CAST.
Sousa, D. A., & Tomlinson, C. A. (2011). Differentiation and the Brain: How Neuroscience Supports the Learner-Friendly Classroom. Solution Tree.
Gregory, G. H., & Chapman, C. (2013). Differentiated Instructional Strategies: One Size Doesn’t Fit All. Corwin Press.
Heacox, D. (2012). Making Differentiation a Habit: How to Ensure Success in Academically Diverse Classrooms. Free Spirit Publishing.
Anderson, K. M. (2007). Differentiating Instruction to Include All Students. Preventing School Failure.
Tomlinson, C. A., & Moon, T. R. (2013). Assessment and Student Success in a Differentiated Classroom. ASCD.
Loughran, J. (2006). Developing a Pedagogy of Teacher Education. Routledge.
Popham, W. J. (2008). Transformative Assessment. ASCD.
Willis, J. (2007). Brain-Friendly Strategies for the Inclusion Classroom. ASCD.
https://www.cast.org — Universal Design for Learning and DI connection.
https://edutopia.org — Artikel dan video tentang praktik diferensiasi di sekolah dasar.
https://teacherready.org — Tips membangun pendekatan pembelajaran yang fleksibel.
https://www.ascd.org — Publikasi dan panduan lengkap tentang diferensiasi.
https://k12teacherstaffdevelopment.com — Modul daring dan pelatihan guru untuk kelas inklusif
Tinggalkan Balasan