Bukan Sekadar Asesmen Awal: Kunci Mendesain Kegiatan yang Bermakna

(Hubungan antara Asesmen Awal dan UbD/TaRL)

Pendahuluan

Bayangkan Anda masuk kelas dengan percaya diri, membawa rencana pembelajaran yang sudah disusun rapi. Tapi begitu mulai, murid-murid Anda bengong, menguap, bahkan ada yang bertanya, “Bu, kita belajar apa, sih?” Nah, di situlah letak masalahnya. Asesmen awal bukan sekadar formalitas atau pengantar basa-basi. Ini adalah pondasi dari semua kegiatan bermakna. Kalau kita salah baca kemampuan awal siswa, ibaratnya kita kasih nasi goreng buat anak yang masih minum susu formula.

Asesmen awal seringkali diperlakukan sekadar formalitas. Yang penting tanya, selesai, lanjut materi. Padahal, sejatinya asesmen awal adalah jendela untuk mengintip dunia pemahaman siswa. Tanpa itu, guru seperti pilot yang terbang tanpa radar. Bisa jadi sampai tujuan, tapi bisa juga nyasar ke dunia lain. Di sinilah pentingnya guru benar-benar memahami kondisi awal siswa sebelum memulai proses pembelajaran.

Suatu pagi yang terik, seorang guru di SD membuka pelajaran dengan pertanyaan sakral, “Siapa yang tahu apa itu gaya gesek?” Hening. Hanya suara kipas angin yang bersaing dengan dengkuran kecil si Joni di pojok kelas. Guru itu menghela napas dan menuliskan materi di papan tulis tanpa tahu siapa yang paham, siapa yang bingung, dan siapa yang mengira “gaya gesek” itu gaya-gayaan anak TikTok. Contoh ini menunjukkan bahwa tanpa asesmen awal yang tepat, guru akan kesulitan menyesuaikan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa.

Apa Itu Asesmen Awal?

Asesmen awal adalah proses mengidentifikasi pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang sudah dimiliki siswa sebelum memulai pembelajaran baru. Tujuannya sederhana tapi krusial: agar pembelajaran tidak salah sasaran. Metodenya pun beragam, mulai dari pre-test, diskusi, KWL chart, hingga obrolan ringan yang strategis. Asesmen awal bukan hanya menyentuh aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik—mulai dari minat, kesiapan belajar, kepercayaan diri, hingga pengalaman traumatis belajar sebelumnya. Guru perlu jeli membaca sinyal ini agar tidak salah langkah dalam menyusun kegiatan pembelajaran.

Bayangkan kita ingin mendaki gunung bersama siswa. Asesmen awal adalah seperti cek kondisi awal mereka: siapa yang sudah membawa bekal, siapa yang masih pakai sandal jepit, dan siapa yang bahkan belum tahu kalau gunung itu tinggi. Tanpa asesmen awal, kita berisiko kehilangan mereka di tengah perjalanan. Dengan memahami kondisi tersebut, guru bisa merancang pembelajaran yang relevan, efektif, dan bermakna. Asesmen awal menjadi titik mula yang menentukan arah dan irama proses belajar mengajar.

Jika dilakukan dengan baik, asesmen awal memungkinkan guru menyusun strategi yang tepat: mempercepat bagi yang sudah siap, menguatkan bagi yang tertinggal, dan membangkitkan semangat bagi yang enggan. Semua siswa mendapatkan porsi sesuai kebutuhannya. Inilah implementasi nyata dari pembelajaran berdiferensiasi, di mana tidak ada siswa yang tertinggal, dan setiap langkah pembelajaran benar-benar berangkat dari kondisi nyata peserta didik.

Asesmen Awal dengan UbD (Understanding by Design)

UbD (Understanding by Design) adalah pendekatan backward planning, di mana kita mulai merancang pembelajaran dari tujuan akhir yang ingin dicapai, lalu mundur ke langkah-langkah dan kegiatan yang perlu dilakukan. Dalam konteks ini, asesmen awal sangat penting karena membantu guru memahami sejauh mana kesenjangan antara kondisi awal siswa dengan tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, asesmen awal adalah peta yang menunjukkan dari mana kita harus mulai, sehingga perjalanan pembelajaran menjadi lebih terarah.

UbD menekankan pentingnya pembelajaran yang bermakna melalui tiga tahap utama: (1) Identifikasi hasil yang diharapkan, (2) Penentuan bukti keberhasilan melalui asesmen, dan (3) Perancangan kegiatan pembelajaran. Dalam proses ini, asesmen awal berperan besar pada tahap pertama dan kedua, yaitu memastikan guru memahami titik awal siswa sebelum menyusun strategi dan aktivitas yang efektif. Tanpa tahu posisi awal, guru tidak akan mampu menentukan jalur tercepat, teraman, dan ternyaman menuju tujuan—ibarat naik angkot tanpa tahu dari mana kita mulai, bisa-bisa malah keliling kota sebelum sampai sekolah.

Selain sebagai penanda posisi awal, asesmen awal juga membantu guru memilih pendekatan dan konteks pembelajaran yang sesuai. UbD tidak mendorong pembelajaran sekadar hafalan, melainkan menekankan pemahaman yang bermakna. Jika guru mengetahui bahwa siswa lebih tertarik pada bidang tertentu, seperti olahraga, maka ia dapat menggunakan analogi sepak bola untuk menjelaskan konsep sains seperti gaya gesek. Dengan begitu, materi terasa lebih relevan dan mudah dipahami.

Lebih jauh lagi, asesmen awal berperan dalam perancangan essential questions yang memantik nalar siswa. Dengan memahami latar belakang, minat, dan kesiapan siswa, guru dapat membuat pertanyaan yang menantang dan menggugah rasa ingin tahu. Pertanyaan yang baik akan membuat siswa berpikir kritis dan terlibat aktif, bukan malah menguap bosan. Maka dari itu, asesmen awal bukan hanya fondasi, tetapi juga kunci untuk membuka gerbang pembelajaran yang benar-benar hidup.

Teori TaRL: Mengajar Sesuai Tingkat Pemahaman

Teaching at the Right Level (TaRL) menekankan bahwa pembelajaran akan lebih efektif jika siswa diajarkan sesuai dengan tingkat kemampuannya, bukan semata-mata berdasarkan usia atau kelasnya. Di sinilah asesmen awal menjadi ujung tombak: kita tidak akan tahu level siswa tanpa memetakan kondisi awal mereka terlebih dahulu. Dengan memahami posisi awal siswa, guru dapat menyusun strategi pembelajaran yang lebih akurat dan berdampak.

Pendekatan TaRL berawal dari prakarsa organisasi Pratham di India, yang membuktikan bahwa ketika siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan aktual dan diajar menggunakan pendekatan yang tepat sasaran—berdasarkan data dari asesmen awal—hasil belajar mereka meningkat secara signifikan. Dalam konteks pendidikan dasar di Indonesia, pendekatan ini sangat relevan untuk mengatasi fenomena “satu kelas banyak level,” di mana dalam satu ruang belajar terdapat keragaman capaian siswa yang cukup lebar.

Melalui TaRL, guru dapat membagi siswa ke dalam kelompok membaca atau berhitung berdasarkan hasil asesmen awal. Kegiatan pembelajaran pun disesuaikan dengan level masing-masing kelompok, bukan dengan kurikulum kelas semata. Tujuannya sederhana namun penting: agar semua siswa mengalami pertumbuhan belajar yang nyata, tidak ada yang tertinggal, dan semua merasa diperhatikan sesuai kebutuhannya.

Asesmen awal dalam pendekatan TaRL bersifat praktis dan aplikatif. Bisa berupa membaca cerita pendek, menjawab soal-soal dasar, atau berdiskusi ringan dengan siswa. Data yang diperoleh dari asesmen ini langsung digunakan untuk pengelompokan dan perencanaan pembelajaran. TaRL mengajarkan kita bahwa tidak adil memberikan soal kelas 5 kepada siswa yang masih kesulitan membaca; lebih baik memperkuat fondasi mereka terlebih dahulu. Dan asesmen awallah yang membuat proses ini bukan hanya mungkin, tetapi juga terarah dan bermakna.

Tips Mendesain Kegiatan Berdasarkan Asesmen Awal

Berikut beberapa tips yang bisa langsung dipraktikkan:

a. Gunakan instrumen sederhana tapi bermakna.
Tak harus pakai soal pilihan ganda atau tes tertulis panjang. Cukup dengan pertanyaan reflektif seperti “Apa yang kamu tahu tentang topik ini?” atau “Ceritakan pengalamanmu terkait hal ini.” Guru bisa menilai pemahaman dasar dari jawaban siswa yang jujur dan personal.

b. Jangan buru-buru menggiring ke materi inti.
Berikan waktu untuk eksplorasi dan koneksi dengan pengalaman pribadi siswa. Hal ini membantu mereka merasa relevan dan tertarik. Siswa yang merasa dihargai latar belakangnya akan lebih terbuka menerima materi baru.

c. Petakan siswa dan sesuaikan strategi.
Dari hasil asesmen, kelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya. Bukan untuk diskriminasi, tapi untuk diferensiasi. Siswa dengan pemahaman awal rendah bisa diberi scaffolding, sementara yang sudah paham bisa ditantang dengan tugas lanjutan.

d. Libatkan siswa dalam merancang kegiatan.
Tanyakan kepada mereka: “Kegiatan seperti apa yang membuatmu senang belajar?” Terkadang ide-ide paling segar justru datang dari peserta didik. Ini membuat pembelajaran lebih partisipatif dan humanis.

e. Revisi modul ajar secara dinamis.
Jangan terpaku pada satu format atau rencana. Asesmen awal bisa mengubah arah pembelajaran. Modul ajar berbasis kebutuhan riil akan jauh lebih bermakna daripada sekadar copy-paste dari tahun lalu.

Penutup

Asesmen awal adalah kunci. Tanpanya, kita seperti mendesain rumah tanpa tahu di atas tanah seperti apa ia akan dibangun. Di era Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran berdiferensiasi, asesmen awal tidak boleh diperlakukan sebagai kewajiban administratif semata. Ia harus menjadi alat refleksi yang membantu guru memahami siapa siswa mereka, dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan sebelum proses belajar dimulai.

Mari mulai pembelajaran bukan dari rutinitas, tapi dari pemahaman yang mendalam. Karena ketika kita tahu dari mana siswa memulai, barulah kita bisa menemani mereka sampai ke tujuan dengan cara yang tepat. Guru adalah fasilitator, bukan detektif. Asesmen awal bukan alat untuk menangkap kekurangan siswa, melainkan jembatan yang menghubungkan guru dengan kebutuhan dan potensi peserta didik.

Dialog yang hangat bisa membuka banyak hal. Saat siswa ditanya dengan pendekatan yang ramah dan menyenangkan, mereka cenderung lebih terbuka. Bahkan siswa yang biasanya pendiam bisa tiba-tiba bercerita panjang tentang dinosaurus, karena ternyata itu adalah minatnya. Dari sini kita belajar bahwa asesmen awal bukan hanya soal kognitif, tetapi juga soal membangun hubungan yang bermakna.

Hubungan yang dibangun melalui asesmen awal membuat siswa merasa dikenali, dihargai, dan diterima. Guru belajar tentang dunia siswa, sementara siswa merasa bahwa gurunya hadir untuk mereka. Di titik inilah pembelajaran yang sejati dimulai—bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses tumbuh bersama. Maka, asesmen awal bukan sekadar checklist, melainkan proses membangun koneksi manusiawi antara guru dan siswa.

Peribahasa Jepang mengatakan, “Bila kau ingin mengajarkan cara berenang, pastikan dulu anaknya sudah tahu air itu bisa basah.” Sebelum kita mengajarkan rumus, konsep, atau strategi, mari pastikan dulu bahwa anak sudah siap secara pengetahuan, paham secara konsep, dan nyaman secara emosi. Karena jika asesmen awal dilakukan dengan hati, maka setiap langkah pembelajaran akan lebih bermakna dan penuh arah.

Daftar Pustaka

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by Design. ASCD.

Tomlinson, C. A. (2014). The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners. ASCD.

Darling-Hammond, L., et al. (2020). The Right to Learn. Jossey-Bass.

Slavin, R. E. (2006). Educational Psychology: Theory and Practice. Pearson.

Stiggins, R. (2005). Student-Involved Assessment FOR Learning. Pearson.

Marzano, R. J. (2003). Classroom Instruction That Works. ASCD.

Sousa, D. A. (2011). How the Brain Learns. Corwin.

Black, P., & Wiliam, D. (1998). Inside the Black Box: Raising Standards Through Classroom Assessment.

Hattie, J. (2009). Visible Learning. Routledge.

Fullan, M. (2011). Change Leader: Learning to Do What Matters Most. Jossey-Bass.

https://ascd.org

https://pratham.org/initiatives/teaching-at-the-right-level

https://kurikulum.kemdikbud.go.id

https://edutopia.org/article/importance-formative-assessment

https://teacheracademy.eu/blog/assessment-in-education


Komentar

2 tanggapan untuk “Bukan Sekadar Asesmen Awal: Kunci Mendesain Kegiatan yang Bermakna”

  1. Avatar Azizah nur
    Azizah nur

    Luar biasa… sukses selalu ya..

    1. makasih buuu….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *