Belajar Tidak Lagi Sama untuk Semua: Suara dari Sekolah Negeri di Pinggiran Sunggal

(TaRL + Diferensiasi kontekstual)

Pendahuluan

“Pak, saya nggak paham…” dan “Pak, ini terlalu mudah…”, dua kalimat ini bisa keluar di jam pelajaran yang sama, dari dua murid di kursi yang bersebelahan. Inilah realita di SD Negeri 105267 Sei Mencirim, sekolah negeri yang berdiri di pinggiran Sunggal. Satu kelas bisa diisi anak yang sudah lancar berhitung pecahan, duduk bersebelahan dengan temannya yang masih bingung membedakan tanda tambah dan kali.

Di sinilah kita mulai sadar: belajar itu tidak bisa lagi “sama untuk semua”. Kelas bukanlah jalur tol lurus dengan kecepatan yang seragam; lebih mirip jalan kampung yang penuh tikungan, tanjakan, dan kendaraan dengan kapasitas berbeda-beda.

Tidak Sama untuk Semua

Di sekolah pinggiran, perbedaan kemampuan akademik sangat terasa. Ada murid yang di rumahnya setiap malam dibacakan buku cerita, ada yang malah sibuk membantu orang tua di warung sampai larut. Selisih kemampuan membaca bisa mencapai dua sampai tiga tingkat kelas.
Kalau guru memaksakan metode “satu untuk semua”, maka yang cepat akan bosan, yang lambat akan tertinggal. Hasilnya? Keduanya kehilangan semangat. Pendidikan seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok.

TaRL (Teaching at the Right Level)

Teaching at the Right Level (TaRL) adalah pendekatan yang memulai pembelajaran dari tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya, bukan dari tuntutan kurikulum semata. Guru memetakan kemampuan awal siswa, lalu mengelompokkan mereka berdasarkan hasil itu, bisa membaca, berhitung, atau menulis.

Misalnya di kelas IV, guru memulai dengan tes singkat membaca. Ternyata ada kelompok yang sudah lancar, ada yang masih mengeja, bahkan ada yang belum mengenal semua huruf. Dengan TaRL, guru bisa menyusun kegiatan berbeda sesuai levelnya. Studi di India dan Afrika menunjukkan pendekatan ini mampu meningkatkan kemampuan dasar dengan signifikan.

Pembelajaran Berdiferensiasi

Pembelajaran berdiferensiasi adalah cara guru menyesuaikan konten (materi), proses (cara belajar), dan produk (hasil belajar) sesuai kebutuhan siswa.

Contohnya di SDN 105267 Sei Mencirim: saat belajar cerita rakyat, anak yang suka menggambar bisa membuat komik cerita, anak yang senang berbicara bisa bercerita di depan kelas, dan yang suka menulis bisa membuat ringkasan. Tujuannya sama, memahami isi cerita, tapi jalannya berbeda-beda. Inilah yang membuat setiap anak merasa diakomodasi.

Menggabungkan TaRL dan Diferensiasi

Menggabungkan keduanya berarti memulai dari asesmen awal, memetakan kemampuan, lalu memberi jalur belajar yang sesuai. Misalnya:

Langkah 1: Tes awal kemampuan membaca dan berhitung.

Langkah 2: Kelompokkan siswa sesuai level.

Langkah 3: Rancang aktivitas per kelompok—yang level rendah lebih banyak latihan dasar, yang tinggi diberi tantangan.

Langkah 4: Di setiap kelompok, terapkan diferensiasi proses dan produk.

Awalnya memang repot, apalagi kalau kelas besar. Tapi setelah beberapa minggu, suasana kelas jadi lebih tenang. Anak-anak tidak lagi merasa “tertinggal” atau “terlalu cepat”.

Tips Praktis untuk Guru

  1. Mulailah dengan asesmen awal singkat

Gunakan 5–10 soal sederhana atau kegiatan singkat untuk memetakan kemampuan. Tidak perlu menunggu ulangan resmi.

  1. Gunakan media yang ada di sekitar

Batu, lidi, daun, atau bungkus makanan bisa jadi alat berhitung. Buku bekas bisa diubah jadi kartu baca.

  1. Rotasi kelompok setiap beberapa minggu

Supaya anak tidak merasa “dikotakkan” selamanya. Ada motivasi untuk naik level.

  1. Libatkan murid pintar sebagai tutor sebaya

Mereka membantu teman, sekaligus memperdalam pemahaman sendiri.

  1. Catat perkembangan secara berkala

Sekadar daftar ceklis sudah cukup, yang penting ada bukti perkembangan.

Kemanusiaan dalam Mengajar

Mengajar dengan TaRL dan diferensiasi itu seperti menanam di kebun yang tanahnya tidak rata. Ada bagian yang subur, ada yang kering. Tugas guru adalah menyesuaikan cara menyiram dan memupuk. Kadang kita lupa, di balik nilai rapor itu ada cerita perjuangan masing-masing anak.

Penutup

Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan belajar yang sesuai kemampuannya. TaRL dan diferensiasi bukan tren semata, tapi jembatan menuju pembelajaran yang adil.
Bagaimana dengan Bapak/ Ibu Guru? Sudahkah mencoba mengajar sesuai kemampuan siswa di sekolah Bapak/ Ibu Guru? Ceritakan pengalaman Bapak/ Ibu Guru di kolom komentar, siapa tahu bisa jadi inspirasi bagi guru lain.


Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *