(Culturally Responsive Teaching – pentingnya memahami konteks budaya siswa)
Pendahuluan
Pernah merasa sudah mencoba berbagai cara mengajar, dari metode ceramah, permainan, sampai hadiah kecil, tapi tetap saja ada satu-dua siswa yang seperti “berdinding”? Senyum tidak dibalas, pertanyaan dijawab sepotong-sepotong, dan pandangan mata seperti selalu menjaga jarak.
Lalu kita mulai bertanya-tanya, “Apa salah saya?”
Padahal, masalahnya mungkin bukan pada teknik mengajar kita, melainkan pada satu hal sederhana tapi krusial: kita belum mengenalnya secara budaya.
Fenomena “Jarak Tak Terlihat” di Sekolah
Di sekolah-sekolah yang muridnya beragam, perbedaan budaya sering menjadi jarak tak terlihat antara guru dan siswa. Anak yang tumbuh di keluarga yang jarang berbicara langsung pada orang dewasa bisa terlihat “diam” di kelas, padahal dia sebenarnya sopan. Anak yang terbiasa berbicara dengan suara keras mungkin dianggap “kasar” oleh guru yang latar budayanya lebih tenang.
Di SD negeri pinggiran Sunggal, misalnya, ada murid yang selalu duduk di pojok dan jarang ikut diskusi. Guru sempat mengira ia malas belajar. Setelah diselidiki, ternyata di rumah ia diajarkan untuk mendengarkan lebih banyak daripada berbicara. Sebuah cultural gap yang sederhana, tapi pengaruhnya besar pada cara kita memandang anak.
Culturally Responsive Teaching (CRT), Jalan Menuju Kedekatan
Culturally Responsive Teaching adalah pendekatan mengajar yang berusaha menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman hidup, nilai, dan bahasa siswa. Tujuannya jelas: membuat pembelajaran relevan dan bermakna bagi semua murid, apapun latar belakangnya.
Penelitian menunjukkan bahwa guru yang menerapkan CRT mampu meningkatkan keterlibatan siswa hingga 30% lebih tinggi dibanding pembelajaran standar. Anak merasa dihargai, suaranya didengar, dan identitasnya diakui di kelas.
Mengapa Konteks Budaya Begitu Penting?
Budaya adalah “kacamata” yang dipakai anak untuk melihat dunia.
- Mempengaruhi cara memahami informasi. Anak yang tumbuh di lingkungan bercerita akan lebih mudah memahami pelajaran lewat narasi daripada tabel data.
- Membentuk bahasa tubuh dan ekspresi. Anak dari budaya tertentu mungkin jarang kontak mata sebagai tanda hormat, bukan tanda tidak percaya diri.
- Menentukan nilai yang dianggap penting. Misalnya, di beberapa daerah, gotong-royong lebih diutamakan daripada prestasi individu.
Dengan memahami ini, kita bisa menghindari kesalahpahaman yang membuat hubungan guru–siswa renggang.
Langkah Praktis Menerapkan CRT di Kelas
a. Kenali budaya siswa
Lakukan wawancara ringan atau ngobrol santai di awal tahun ajaran. Tanyakan makanan favorit, cerita masa kecil, atau tradisi keluarga. Dari situ, kita akan tahu pintu masuk yang tepat untuk membangun kedekatan.
b. Gunakan materi yang relevan
Jika mengajar matematika tentang perbandingan, gunakan contoh dari pasar tradisional yang mereka kenal. Jika mengajar bahasa, gunakan tokoh atau cerita lokal yang dekat dengan kehidupan mereka.
c. Ciptakan ruang aman untuk berbagi
Beri waktu khusus di kelas bagi siswa untuk bercerita tentang pengalaman atau tradisi mereka. Anak akan merasa diakui, dan teman-temannya akan belajar menghargai keberagaman.
d. Kolaborasi dengan orang tua
Sampaikan tujuan pembelajaran dan ajak orang tua berbagi informasi tentang kebiasaan atau kebutuhan khusus anak. Ini akan membuat pendekatan kita selaras antara rumah dan sekolah.
Tantangan dan Solusi
Tentu, menerapkan CRT tidak selalu mulus. Beberapa tantangan yang sering muncul antara lain:
- Waktu guru terbatas. Solusinya, integrasikan pengenalan budaya ke dalam materi pembelajaran, bukan sebagai kegiatan terpisah.
- Prasangka tak disadari. Guru perlu refleksi diri, menyadari bias pribadi, dan berlatih melihat situasi dari sudut pandang siswa.
- Kurangnya referensi lokal. Buatlah bank cerita, lagu, atau permainan tradisional dari lingkungan sekitar sekolah, sehingga bisa digunakan kapan saja.
Penutup
Mengajar bukan hanya memindahkan ilmu, tapi juga menjembatani hati. Dan untuk itu, kita harus berani masuk ke dunia siswa, mengenali, menghargai, dan merayakan budaya mereka.
Seperti peribahasa Afrika, “Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri. Jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama.”
Bagaimana Bapak/ Ibu Guru Hebat??, Apakah sudah mengenal budaya mereka???
Tulis di kolom komentar !!!
Tinggalkan Balasan