Antara Teguran dan Senyuman: Seni Mengelola Kelas

Mengajar di SD itu seperti main akrobat: satu kaki jaga papan tulis, satu tangan pegang spidol, telinga fokus ke anak yang ribut di pojok, sementara mata tetap awas siapa yang ngantuk di belakang. Guru harus bisa jadi pemain sirkus, komedian, sekaligus motivator. Nah, dalam seni mengelola kelas, ada satu resep penting: teguran dan senyuman. Kedengarannya sederhana, tapi sebenarnya butuh latihan yang nggak kalah ribet dari belajar TikTok dance.

Teguran yang Mendidik, Bukan Menyakitkan

Teguran dalam kelas itu ibarat rem dalam sepeda. Kalau dipakai terlalu keras, anak-anak bisa terlempar dan sakit hati. Kalau nggak dipakai sama sekali, kelas bisa meluncur bebas ke arah “chaos”. Maka, seni guru adalah memilih kata yang bisa menghentikan, tapi tidak melukai. Daripada bilang “Diam kau!”, mungkin lebih baik dengan gaya kocak, “Eh, ada konser apa di pojok sana, kok rame?” Anak-anak biasanya langsung sadar tanpa merasa dimarahi.

Kadang ada momen di mana teguran berubah jadi komedi. Misalnya, ada murid ngobrol terus saat pelajaran. Guru bisa mendekat, pasang wajah serius, lalu bilang, “Kalian lagi bahas saham apa, sampai serius banget? Biar saya ikut investasi.” Tawa pun pecah, kelas kembali cair, dan murid berhenti ngobrol. Teguran tetap kena, tapi rasa sakitnya nyaris nol.

Teguran yang baik selalu memberi jalan keluar. Setelah menegur, guru bisa menambahkan arahan: “Oke, kalau kamu sudah selesai ngobrol, coba bantu saya jawab soal ini ya.” Jadi anak merasa dilibatkan, bukan dimusuhi. Teguran pun jadi jembatan untuk mengajak kembali ke jalur belajar, bukan sekadar palu godam yang bikin kapok.

Senyuman yang Menenangkan

Kalau teguran itu rem, maka senyuman adalah oli mesin kelas. Senyuman guru bisa jadi sinyal “semua baik-baik saja”, meski tadi sempat ribut atau gaduh. Anak SD itu peka sekali. Begitu lihat wajah guru masam, mereka bisa ikutan tegang. Tapi kalau melihat senyum, mereka lega: oh, suasana kelas masih aman terkendali.

Senyuman juga sering jadi jurus rahasia. Saat anak salah menjawab, jangan buru-buru bilang, “Salah!” Cukup tersenyum dan berkata, “Wah, jawabannya unik juga. Ada yang mau kasih versi lain?” Dengan begitu, anak yang salah nggak merasa malu, sementara teman lain termotivasi untuk membantu. Senyum guru menutup rasa takut, membuka peluang belajar bersama.

Bahkan ada murid yang bilang: “Pak, kalau Bapak senyum, kelas jadi enak.” Itu artinya senyum bukan sekadar ekspresi, tapi atmosfer. Jadi, jangan pelit senyum. Senyum satu detik bisa menyelamatkan suasana kelas satu jam.

Humor sebagai Penyelamat

Di kelas SD, humor bukan hiasan, tapi kebutuhan pokok. Anak-anak lebih gampang menerima aturan kalau dikemas dengan lucu. Misalnya saat kelas ribut, guru bisa berkata, “Siapa yang ribut, nanti saya tugaskan jadi model di depan, gaya bebas 3 menit.” Anak-anak langsung hening, takut jadi pusat perhatian. Aturan jalan, kelas aman, guru nggak perlu marah.

Humor juga ampuh saat suasana kelas mulai lesu. Misalnya, setelah istirahat siang, anak-anak biasanya mengantuk. Guru bisa mulai pelajaran dengan candaan, “Ayo, siapa yang habis makan bakwan lebih dari tiga? Angkat tangan. Wah, hati-hati, bakwan bisa bikin ngantuk lho!” Tawa kecil muncul, energi kelas pun terangkat.

Tentu humor harus dijaga jangan sampai meledek atau merendahkan anak. Humor yang sehat adalah yang membuat semua tertawa bersama, bukan ada yang jadi korban. Kalau bisa bikin anak ketawa, lalu fokus kembali belajar, itu artinya guru berhasil mengelola kelas dengan gaya yang sehat.

Konsistensi dalam Aturan

Aturan kelas itu penting, tapi konsistensi lebih penting. Anak-anak SD punya radar keadilan yang tajam. Kalau hari ini ribut ditegur, besok ribut dibiarkan, mereka akan bingung: “Jadi, mana yang betul, Bu?” Inilah mengapa guru harus konsisten, seperti sinyal WiFi, stabil, nggak naik-turun.

Namun konsistensi bukan berarti kaku. Guru bisa tetap fleksibel. Misalnya, aturan “tidak boleh makan di kelas” bisa dikecualikan kalau ada anak yang sakit dan perlu minum obat. Konsisten, tapi manusiawi. Anak-anak akan paham bahwa aturan ada untuk membantu, bukan sekadar mengekang.

Dengan konsistensi, kelas jadi punya ritme. Anak tahu apa yang boleh, apa yang tidak, dan guru tidak perlu mengulang teguran setiap kali. Dalam jangka panjang, konsistensi ini yang membangun disiplin positif, bukan sekadar takut pada guru.

Penutup

Setelah ribut, teguran, senyum, dan humor, jangan lupa tutup dengan refleksi kecil. Guru bisa berkata: “Hari ini seru ya, banyak ketawa. Tapi coba kita pikir, kalau kelas terlalu ribut, siapa yang rugi? Ya, kita sendiri, karena waktu belajar berkurang.” Refleksi singkat seperti ini membantu anak-anak paham alasan di balik aturan.

Empati juga penting. Saat anak dimarahi atau ditegur, beri kesempatan dia untuk didengar. Terkadang mereka ribut bukan karena bandel, tapi karena ada masalah di rumah atau sekadar ingin diperhatikan. Guru yang mau mendengar akan lebih mudah mengelola kelas dengan hati.

Akhirnya, mengelola kelas bukan cuma soal menjaga ketertiban, tapi juga menumbuhkan jiwa. Antara teguran dan senyuman, ada seni yang membuat belajar terasa manusiawi. Anak-anak pun belajar bukan hanya tentang pelajaran, tapi juga tentang kehidupan.

Jadi, bagaimana dengan Bapak/Ibu guru lain? Apakah lebih sering pakai “teguran serius” atau “senyuman manis”? Yuk, bagikan pengalaman mengelola kelas di kolom komentar. Siapa tahu cerita Anda bisa jadi inspirasi untuk guru lainnya.


Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *