Resepsionis Sekolah yang Serba Bisa
Kalau ada benda yang tahu segalanya di sekolah, jawabannya bukan CCTV atau papan pengumuman, tapi meja piket. Dari situlah semua lalu lintas harian dimulai: absen guru, absen siswa, titipan surat, bahkan barang barang yang bisa dijual pun di taruh meja piket, sampai laporan “Pak, tadi ban sepeda saya digigit kucing.” Meja piket seperti bandara kecil, semua datang dan pergi lewat situ, tapi nggak ada tiket, yang ada cuma tanda tangan.
Lucunya, meja piket selalu jadi tempat pertama anak-anak menampilkan kreativitas. Ada yang menulis absen dengan huruf besar, ada yang pakai coretan mirip tanda tangan artis K-pop, ada juga yang nambahin emoticon hati. Kadang, saya mikir: ini daftar hadir atau buku kenangan masa SMP?
Bagi guru yang piket, meja ini juga bukan sekadar meja. Ia berubah jadi panggung interaksi. Mau serius bisa, mau bercanda bisa, apalagi “menggunjing”, maaf…. “sengaja”!!!!. Murid yang telat bisa ditegur dengan gaya drama, “Kamu dari planet mana, Nak? Jam sekolah di bumi sudah masuk!” Sementara murid yang rajin bisa dipuji dengan tepuk tangan sekelas.
Intinya, meja piket bukan cuma saksi bisu, tapi “pemain utama” dalam cerita sekolah. Ia merekam semua momen, dari yang bikin ketawa sampai yang bikin berlinang air mata. Kalau meja bisa bicara, mungkin dia sudah bikin novel best seller dengan judul: “1001 Alasan Murid Telat Masuk Sekolah”, mungkin juga Guru”!!!!
Cerita Absurd Murid dan Guru
Setiap hari, ada saja kisah unik di meja piket. Ada murid yang telat sambil ngos-ngosan, padahal rumahnya dekat, cuma 200 meter. Alasannya? “Pak, saya tadi bantu nenek jemur kasur.” Ada juga yang tanda tangan absen sambil pamer stiker baru di buku. Rasanya, meja piket itu lebih ramai daripada kasir minimarket jam diskon.
Guru piket pun ikut dapat bonus cerita. Kadang ada murid yang titip uang jajan, ada juga yang nitip curhat. “Bu, kenapa sih teman saya nggak mau sekelompok sama saya?” Sederhana, tapi sering bikin guru jadi dokter hati dadakan. Bahkan, meja piket bisa jadi tempat negosiasi: “Pak, kalau saya bersih-bersih kelas, boleh nggak telatnya dimaafkan?”
Bahkan, ada momen-momen absurd. Seorang murid pernah bawa anak ayam ke sekolah, katanya takut anak ayamnya kesepian di rumah. Meja piket jadi saksi anak ayam itu nongkrong manis di kardus. Untung nggak sampai minta tanda tangan absen juga.
Pokoknya, meja piket itu semacam drama seri tanpa habisnya. Kadang lucu, kadang mengharukan. Saking lengkapnya, kalau difilmkan mungkin bisa tayang panjang seperti sinetron: “Cinta di Meja Piket, Episode ke 3000.”
Jadwal Baru, Tantangan Baru
Nah, minggu ini cerita makin panas gara-gara jadwal guru berubah mengikuti aturan sertifikasi 37,5 jam. Awalnya sih, semua guru manggut-manggut. Tapi begitu hitung-hitung jam, ada yang nyeletuk, “Lho, berarti piket dihitung juga ya? Wah, meja piket ini bisa jadi kantor cabang kita.”
Meja piket pun makin ramai, bukan cuma murid yang antre tanda tangan, tapi guru yang setia nongkrong demi menuntaskan jam sertifikasinya. Suasananya jadi mirip warung kopi. Ada yang sambil diskusi serius tentang kurikulum, ada yang malah asik ngemil gorengan. Kalau dihitung, lama-lama meja piket bisa masuk Guinness World Record sebagai “Meja Terlama Ditempati Guru Sertifikasi.”
Polemik awalnya bikin heboh. Ada guru yang bilang, “Nggak enak kalau cuma duduk di piket, kayak nggak kerja.” Tapi ada juga yang santai, “Santai aja, Bu… jam sertifikasi itu bukan beban, tapi rezeki.” Hahaha. Alhasil, meja piket jadi arena debat kecil yang penuh warna, tapi tetap dibumbui canda.
Ternyata, jadwal baru ini justru bikin guru lebih sering ketemu di meja piket. Dari situ, muncul solidaritas: saling sharing soal metode mengajar, curhat soal murid, bahkan tukar resep masakan, jual beli buah, sayur, lengkaplah pokoknya. Jadi, aturan 37,5 jam ini malah bikin meja piket naik level dari “penjaga absen” jadi “pusat komunitas guru.”
Pusat Aspirasi
Tugas guru di meja piket bukan cuma mengawasi absen, tapi juga jadi penjaga suasana sekolah. Anak yang telat ditegur dengan senyuman, biar mereka merasa salah tapi tetap semangat. Anak yang ribut bisa diarahkan dengan humor: “Kalau energinya masih sisa, ayo dipakai buat nyapu halaman.”
Kadang, meja piket juga jadi tempat penyelesaian konflik kecil. Dua anak yang berantem bisa ditarik ke sana, lalu diminta saling bicara. Sering kali, solusinya sederhana: salaman dan janji nggak ulangi lagi. Rasanya meja piket itu sudah kayak kantor perdamaian dunia versi mini.
Bahkan, meja piket bisa jadi ruang aman. Ada murid yang datang hanya untuk cerita, “Pak, saya sedih karena dimarahi di rumah.” Momen seperti itu bikin guru sadar, bahwa piket bukan sekadar tugas tambahan, tapi kesempatan menyentuh hati anak.
Dari semua kisah itu, kita belajar bahwa pendidikan tidak hanya ada di ruang kelas, tapi juga di ruang-ruang kecil seperti meja piket. Di sanalah guru bisa memberi teladan, membangun kedekatan, dan menumbuhkan empati. Setiap tanda tangan absen punya cerita, setiap teguran bisa jadi senyuman, dan setiap keluhan bisa berubah jadi aspirasi.
Tinggalkan Balasan