Mengapa Setiap Guru Perlu Berkaca Sebelum Mengajar?

(Refleksi CASEL, Karakter Guru, dan Kekuatan Keteladanan)

Pendahuluan

Guru sering sibuk menyiapkan modul ajar, RPP, slide presentasi, bahkan media pembelajaran paling canggih. Semua dikejar agar kelas berjalan sesuai target. Tapi, ada satu hal penting yang kadang terlewat: menyiapkan dirinya sendiri.

Sebelum masuk kelas, alangkah baiknya guru benar-benar “bercermin”. Tentu bukan sekadar bercermin untuk merapikan jilbab atau menyisir rambut, meski itu juga penting, jangan sampai guru masuk kelas dengan rambut acak-acakan, nanti murid mengira baru selesai main layangan. Tetapi bercermin yang dimaksud adalah melihat kembali hati, pikiran, dan sikap sebelum bertemu murid.

Pertanyaannya sederhana namun menohok: “Sudahkah saya siap hadir bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai teladan?”

Guru sebagai Cermin untuk Murid

Guru sering lupa bahwa dirinya adalah cermin bagi anak. Murid tidak hanya belajar dari buku yang dibuka di meja, tapi juga dari sikap guru sehari-hari. Saat guru marah berlebihan, anak belajar bahwa kemarahan adalah cara menyelesaikan masalah. Saat guru sabar menunggu anak menyelesaikan pekerjaannya, anak belajar bahwa sabar adalah kebiasaan yang indah.

Bahkan senyum guru bisa menjadi energi bagi murid. Ada murid yang pernah berkata, “Pak, kalau Bapak masuk kelas dengan senyum, rasanya kami juga ikut semangat. Tapi kalau Bapak kelihatan bete, kami pun ikut ciut.” Ternyata aura guru menular lebih cepat daripada WiFi sekolah.

Kalau guru ingin murid jujur, ia juga harus jujur. Kalau guru ingin murid disiplin, ia pun harus datang tepat waktu. Guru adalah “kitab hidup” yang dibaca anak setiap hari. Tidak ada gunanya ceramah panjang soal nilai kalau guru sendiri tidak memperlihatkannya.

Refleksi CASEL (Kompetensi Sosial-Emosional)

Di sinilah konsep CASEL (Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning) relevan. Kompetensi sosial-emosional bukan hanya untuk murid, tapi juga untuk guru.

  • Kesadaran diri: Guru perlu sadar emosi yang ia bawa ke kelas. Kalau sedang kesal karena macet di jalan, jangan sampai murid jadi sasaran. Berkaca membantu guru menenangkan diri sebelum mengajar.
  • Pengelolaan diri: Bagaimana guru tetap tenang meski kelas ribut. Ada yang memilih tarik napas, ada yang memilih humor. Yang penting bukan ikut terbawa arus.
  • Kesadaran sosial: Guru memahami bahwa tiap anak unik, latar belakang berbeda. Ada yang datang lapar, ada yang baru saja dimarahi di rumah. Kesadaran ini membuat guru lebih empati.
  • Keterampilan berelasi: Hubungan positif dengan murid dibangun dari interaksi sehari-hari. Berkaca berarti bertanya, “Sudahkah saya mendengarkan mereka hari ini?”
  • Pengambilan keputusan bertanggung jawab: Guru menjadi teladan saat memilih kata-kata dan tindakan, bukan karena aturan, tapi karena kesadaran.

Singkatnya, guru yang bercermin dengan CASEL tidak hanya membawa buku ke kelas, tapi juga membawa jiwa yang siap menemani anak belajar.

Mengapa Berkaca Itu Penting

Kenapa sih repot-repot berkaca sebelum mengajar? Karena murid akan lebih lama mengingat sikap guru daripada isi pelajaran. Murid mungkin lupa rumus luas segitiga, tapi mereka akan ingat bagaimana gurunya pernah sabar menunggu mereka menyalin soal.

Berkaca berarti refleksi: “Sudahkah saya adil? Sudahkah saya sabar? Sudahkah saya konsisten?” Pertanyaan ini membuat guru tidak terjebak pada rutinitas kosong. Karena tanpa refleksi, mengajar bisa berubah jadi sekadar “menyelesaikan materi” tanpa makna.

Ingat, guru bukan hanya penyampai pengetahuan, tapi pembentuk kepribadian. Murid belajar lebih banyak dari bagaimana guru hidup, bukan sekadar apa yang guru ajarkan.

Strategi Praktis untuk Guru

Refleksi ini bukan sekadar teori. Ada beberapa strategi sederhana yang bisa dilakukan guru:

  1. Membuat jurnal guru
    Setiap hari, tulis tiga hal baik yang sudah dilakukan, plus satu hal yang bisa diperbaiki. Misalnya: “Hari ini saya sabar menunggu murid yang lambat menulis. Saya memberi apresiasi pada anak yang berani bertanya. Tapi tadi saya sempat bicara dengan nada tinggi—besok harus lebih lembut.”
  2. Self-check sebelum masuk kelas
    Sebelum membuka pintu kelas, bertanya pada diri sendiri: “Saya masuk dengan energi positif atau negatif?” Kalau masih kusut, tarik napas dalam-dalam, ucapkan doa, baru masuk. Murid tidak butuh guru yang penuh beban, mereka butuh guru yang penuh semangat.
  3. Mindfulness sederhana
    Tidak perlu ribet. Cukup duduk 1 menit, tarik napas, rasakan, lalu hembuskan perlahan. Seperti me-reset pikiran. Murid akan lebih nyaman dengan guru yang hadir utuh, bukan separuh hati karena pikirannya masih terbagi ke urusan lain.
  4. Keteladanan kecil
    Kadang, guru sibuk menyiapkan media canggih, padahal keteladanan sederhana jauh lebih membekas. Misalnya, guru membuang sampah pada tempatnya, meminta maaf kalau salah, atau konsisten tepat waktu. Murid akan menirunya tanpa perlu banyak ceramah.

Tantangan dan Realita

Tentu saja, tidak selalu mudah. Guru terbebani administrasi yang menumpuk: laporan, input data, RPP, hingga dokumen BOS. Kadang, guru masuk kelas dalam keadaan lelah, lalu refleksi jadi nomor sekian.

Ada juga tantangan emosi pribadi. Misalnya, guru habis berselisih dengan keluarganya, lalu tanpa sadar membawanya ke kelas. Murid yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba kena semprot. Di sinilah pentingnya berkaca, agar guru bisa menahan diri sebelum melampiaskan.

Dan realita lainnya: tidak semua guru terbiasa menilai dirinya sendiri. Kita sering sibuk menilai murid, lupa bahwa guru pun perlu dinilai—bukan hanya oleh kepala sekolah, tapi oleh dirinya sendiri.

Penutup

Pada akhirnya, berkaca sebelum mengajar bukan soal ritual fisik, tapi soal kesiapan batin. Guru yang bercermin adalah guru yang sadar bahwa murid membutuhkan lebih dari sekadar ilmu; mereka membutuhkan keteladanan.

Ada pepatah Jepang yang indah: “Guru dengan hati tenang memberi murid pikiran yang damai.” Inilah tujuan berkaca: menenangkan hati sebelum menenangkan kelas.

Maka mari kita refleksi bersama: apakah kita sudah bercermin hari ini? Sudahkah kita memastikan bahwa yang kita pancarkan adalah kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang?

Karena murid mungkin lupa pelajaran hari ini, tapi mereka tidak akan lupa siapa guru yang hadir dengan hati.


Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *