(Strategi Penguatan Nilai & Kolaborasi Rumah–Sekolah)
Pendahuluan
Banyak orang tua menyerahkan anak ke sekolah seolah sekolah adalah bengkel, “Pak, Bu, ini anak saya. Tolong diperbaiki ya.” Padahal sekolah bukan tempat servis motor, dan guru bukan montir yang bisa mengganti suku cadang. Pendidikan karakter tidak bisa dikerjakan sepihak. Rumah dan sekolah harus bergandeng tangan.
Karakter anak bukan hanya hasil jam pelajaran di kelas, tapi juga hasil dari obrolan di meja makan, cara orang tua menegur anak di rumah, sampai sikap orang tua saat antre di pasar. Kalau sekolah mengajarkan disiplin tapi di rumah anak melihat orang tuanya melanggar antrean, maka anak akan bingung: mana nilai yang benar?
Pertanyaannya: apakah sekolah bisa sendirian tanpa dukungan orang tua? Jawabannya jelas: tidak. Menggandeng orang tua bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Karena membentuk karakter adalah pekerjaan bersama, bukan hanya tanggung jawab guru.
Mengapa Kolaborasi Rumah–Sekolah Penting
Anak itu seperti spons, menyerap apa pun yang ada di sekelilingnya. Kalau di sekolah mereka menyerap pesan kebaikan, tapi di rumah menyerap hal sebaliknya, jadinya kontradiktif. Misalnya, guru mengajarkan jujur: “Jangan mencontek ya.” Tapi di rumah, anak melihat orang tua berkata, “Bilang aja sama tamu, Ayah nggak ada,” padahal sedang nonton bola di ruang tamu. Anak jadi bingung: jujur itu penting atau fleksibel sesuai kebutuhan?
Kolaborasi rumah–sekolah membuat nilai jadi konsisten. Anak belajar bahwa disiplin, sopan santun, tanggung jawab, dan empati adalah nilai yang berlaku di dua dunia: dunia sekolah dan dunia rumah. Inilah yang akan membentuk karakter kuat, bukan sekadar kepatuhan sesaat.
Kolaborasi juga mengurangi jarak antara guru dan orang tua. Orang tua jadi paham bahwa guru bukan sekadar pengajar matematika, tapi mitra dalam membentuk manusia. Guru pun sadar, orang tua bukan sekadar wali murid, tapi partner sejati dalam mendidik.
Strategi Menggandeng Orang Tua
Pertanyaannya: bagaimana cara menggandeng orang tua? Pertama, komunikasi rutin. Bisa lewat rapat orang tua, WhatsApp group, bahkan home visit. Tentu WA group kadang bisa bikin pusing—dari bahas PR bisa nyasar ke resep sayur asem, tapi itu bagian dari proses membangun kedekatan.
Kedua, libatkan orang tua dalam kegiatan sekolah. Misalnya, kerja bakti bersama, parenting day, atau lomba keluarga. Ketika orang tua ikut hadir, anak merasa nilai yang mereka pelajari di sekolah benar-benar dihargai di rumah.
Ketiga, edukasi orang tua. Banyak orang tua masih berpikir bahwa prestasi anak hanya diukur dari nilai rapor. Sekolah bisa membantu dengan memberikan pemahaman: nilai karakter sama pentingnya. Apa gunanya anak dapat nilai 100 dalam ujian, kalau nilainya 0 dalam empati?
Tantangan di Lapangan
Tentu tidak mudah. Pertama, orang tua sibuk bekerja. Ada yang harus berangkat pagi, pulang malam, sehingga sulit hadir dalam kegiatan sekolah. Akhirnya, keterlibatan orang tua sering hanya berupa tanda tangan di raport.
Kedua, pandangan sebagian orang tua yang masih berpikir: “Urusan pendidikan ya tanggung jawab sekolah. Tugas saya cari nafkah.” Padahal, pendidikan karakter justru paling kuat ditanam di rumah.
Ketiga, perbedaan pola asuh. Ada orang tua yang super disiplin, ada yang longgar. Ada yang tegas soal gadget, ada yang membebaskan. Perbedaan ini kadang menimbulkan benturan nilai antara yang diajarkan di sekolah dan yang berlaku di rumah.
Tantangan ini nyata, dan sering membuat guru merasa seperti berlari di treadmill: capek, tapi tidak sampai ke mana-mana. Namun, justru di sinilah pentingnya strategi cerdas menggandeng orang tua.
Solusi & Praktik Baik
Bagaimana solusinya? Pertama, sekolah harus proaktif membangun komunikasi hangat. Tidak semua komunikasi harus formal. Kadang, obrolan ringan saat menjemput anak lebih efektif daripada undangan resmi rapat. Guru bisa bilang, “Bu, anaknya tadi rajin sekali bantu temannya.” Kalimat sederhana ini membuat orang tua merasa dilibatkan.
Kedua, buat program sederhana tapi bermakna. Misalnya, “15 menit membaca bersama di rumah.” Ini bukan program besar dengan anggaran, tapi rutinitas kecil yang mendekatkan anak dan orang tua, sekaligus menumbuhkan budaya literasi.
Ketiga, tampilkan keberhasilan kecil anak. Orang tua lebih semangat terlibat kalau mereka melihat hasil nyata. Misalnya, menempelkan “Pohon Kebaikan” di kelas, di mana setiap daun berisi catatan perilaku baik siswa. Saat orang tua datang, mereka bisa membaca bahwa anaknya sudah “berani menolong teman” atau “berbagi bekal.” Hal ini membuat orang tua merasa bagian dari proses.
Keempat, adakan forum dua arah. Bukan hanya guru yang ceramah, tapi orang tua juga berbagi cerita. Kadang, orang tua punya cara praktis mendidik yang bisa jadi inspirasi. Dari sinilah tercipta rasa saling menghargai, bukan sekadar “guru menggurui.”
Penutup
Pada akhirnya, membentuk karakter anak adalah pekerjaan bersama. Guru bisa menanam benih di sekolah, tapi orang tualah yang menyiraminya di rumah. Kalau hanya satu pihak yang bekerja, hasilnya akan timpang.
Ada peribahasa Afrika yang bijak: “Butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak.” Dan sekolah serta rumah adalah kampung pertama yang harus kompak.
Maka, mari berhenti bertanya siapa yang lebih bertanggung jawab: sekolah atau orang tua? Jawabannya sederhana: keduanya. Mari bekerja sama, bergandeng tangan, dan menjadikan pendidikan karakter sebagai proyek bersama. Karena anak-anak kita butuh lebih dari sekadar nilai rapor. Mereka butuh nilai hidup yang nyata, yang hanya bisa tumbuh jika sekolah dan rumah berjalan seirama.
Tinggalkan Balasan