Hari ini sejarah baru dimulai. Bukan sejarah dunia, bukan pula sejarah peperangan, tapi sejarah anak-anak SDN 105267 Sei Mencirim. Tepat Senin, 8 September 2025, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Pak Presiden Prabowo resmi hadir di sekolah kami. Kalau biasanya anak-anak paling semangat ketika jam olahraga, hari ini semangat mereka seperti baru dapat WiFi gratis: penuh teriak bahagia!
Sejak datang, suasana kelas sudah berbeda. Biasanya anak-anak bertanya, “Pak, pelajarannya apa?” tapi kali ini yang muncul adalah, “Pak, makanannya apa?” Saya jawab diplomatis, “Tunggu bel, Nak. Jangan khawatir, nasi nggak akan lari, kecuali kamu yang kabur dari barisan.”
Ketika kotak-kotak makanan dibagikan, ada yang langsung menutup hidung, ada yang mengendus-endus seperti detektif kuliner, dan ada juga yang berdoa khusyuk padahal belum buka kotak. Begitu dibuka… wah, wajah-wajah polos itu langsung cerah. Ada yang langsung lahap, ada yang makan pelan-pelan biar tahan lama, bahkan ada yang nyembunyiin lauk buat dibawa pulang. Satu anak nyeletuk, “Pak, boleh nambah nggak?” Saya jawab, “Ini bukan warteg, Nak, ini program negara.”
Yang bikin haru, saya lihat beberapa anak yang biasanya sering absen sarapan, kali ini makannya serius sekali. Nggak ada suara ribut, nggak ada rebutan pensil, yang ada hanya sendok ketemu kotak makan: kring kring kring. Hening tapi bahagia. Saya sempat menunduk sebentar, dalam hati bilang: Ternyata sederhana sekali cara membuat anak-anak ini bahagia.
Tapi kemudian ada momen yang membuat hati saya benar-benar tersentuh. Seorang anak mendekat dengan wajah polos, sambil memegang kotak makanannya. “Pak, boleh saya bawa pulang MBG-nya?” Saya refleks menjawab, “Nggak boleh lah, Nak… kita kan mau makan bersama-sama. Lagian tempatnya nggak ada.” Anak itu tersenyum kecil, “Saya bawa tempat bontot kosong, Pak.” Saya heran, “Memangnya kamu nggak lapar? Kok nggak mau makan?” Dengan suara lirih dia menjawab, “Saya sudah kenyang, Pak… jadi mau saya makan nanti di rumah.” Saya tanya lagi, “Lho, tidak dimakan sekarang?” Dia menggeleng, “Tidak, Pak… ini untuk Ibuk saya di rumah.”
Diam. Hening. Rasanya dada sesak. Tawa di kelas mendadak sirna. Ada haru yang menyeruak. Saya menahan air mata, takut jatuh di depan anak-anak. Seolah diingatkan, bahwa program ini bukan hanya soal nutrisi, tapi juga soal cinta, kepedulian, dan betapa besar peran sederhana yang bisa kita lakukan untuk anak-anak dan keluarga mereka.
Cerita lucu tetap ada. Anak-anak barter lauk seperti pedagang zaman purba, ada yang sok jadi food vlogger, ada pula yang nego dengan saya, “Pak, kalau saya habiskan sayurnya, boleh pulang cepat nggak?” . Tapi di balik semua canda itu, saya tahu: MBG membawa makna yang lebih dalam dari sekadar perut kenyang.
Anak-anak butuh energi untuk belajar, tapi mereka juga butuh merasa diperhatikan. Melalui MBG, ada kebersamaan, ada rasa keadilan, dan ada kasih sayang yang mengalir sampai rumah.
Akhirnya saya sadar, tugas guru bukan cuma mengajar di papan tulis, tapi juga ikut memastikan anak-anak kuat berdiri di bangku sekolah. Kalau kata anak-anak sekarang: no food, no mood. Dan kalau saya boleh nambahin: no MBG, no energi.
Semoga program ini terus berjalan lancar. Karena belajar memang butuh buku, tapi perut kenyang dan hati yang hangat jauh lebih penting. Begitupun kalau ada siswa yang tidak masuk, gurunya juga Kebagian…. Hehehehe….
#RefleksiMBG #MakanBergiziGratis #SDN105267 #SeiMencirim #ProgramMBG#SekolahSehat#GiziUntukAnak#AnakSehatIndonesia#MakanSehatGratis#SekolahHebat#SDNSeiMencirim#GenerasiSehat#GiziSeimbang#MBGIndonesia#SehatBersama#RefleksiProgramMBG#AnakSekolahSehat#MakanBergizi#SDNBerprestasi#MadaniSehat
Tinggalkan Balasan