Model: AI-based Teaching – Refleksi Kritis dan Visioner
Oleh: Suntoyo, S.Si
Guru vs AI, Siapa yang Menang?
Beberapa bulan terakhir, dunia pendidikan ramai membicarakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). ChatGPT, Gemini, Canva AI, sampai aplikasi pembuat soal otomatis kini jadi teman baru sebagian guru. Bahkan ada yang bilang, “Sekarang bikin RPP cukup ketik perintah, tinggal klik, beres!”
Lalu muncul pertanyaan yang bikin resah (dan sedikit lucu):
“Kalau AI bisa bikin RPP, soal, bahkan materi ajar… kita ini masih dibutuhkan nggak sih?”
Di grup WhatsApp guru, ada yang bercanda:
“Sebentar lagi murid belajar sama robot, kita nganggur deh.”
Lucu sih, tapi di balik tawa itu ada keresahan nyata.
Apakah peran guru akan tergantikan AI?
Jawabannya jelas: tidak. Tapi… perannya akan berubah. Dan inilah yang harus kita pahami bersama.
AI Memang Hebat, Tapi…
Tak bisa dipungkiri, AI benar-benar pintar dalam urusan teknis.
Mau bikin soal ulangan? Tinggal perintah: “Buat 10 soal matematika kelas 6 tentang pecahan.” Klik, langsung keluar.
Mau bikin RPP atau modul ajar? ChatGPT siap menyusun sesuai format kurikulum terbaru.
Mau desain poster? Canva AI punya jawabannya.
Efisiensi ini luar biasa. Bayangkan, dulu kita butuh waktu 2 jam untuk menulis RPP, sekarang bisa selesai dalam 2 menit. Hebat? Jelas. Tapi apakah itu cukup untuk menggantikan peran guru? Jawabannya: Tidak.
Karena AI hanya memproduksi konten. Sementara pendidikan adalah tentang relasi, karakter, dan nilai. Robot bisa menyusun kalimat, tapi tidak bisa menatap mata murid yang sedang sedih karena dimarahi orang tuanya semalam. AI bisa memberi contoh soal, tapi tidak bisa memahami kenapa seorang anak tiba-tiba diam dan menunduk sepanjang pelajaran.
Peran Guru Tidak Bisa Digantikan
Sejak dulu, peran guru bukan hanya “mengajar”, tapi mendidik.
Bedanya?
Mengajar = memberi pengetahuan
Mendidik = membentuk manusia
AI bisa mengajarkan cara menghitung luas segitiga.Tapi hanya guru yang bisa mengajarkan kejujuran, empati, kerja sama, dan cinta tanah air. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi juga transfer energi positif. Kita memberi teladan, menjadi inspirasi, bahkan jadi pendengar setia. Murid butuh guru yang bisa bilang:
“Kamu hebat, jangan menyerah.”
Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh mesin.
Dari Pengajar ke Arsitek Pembelajaran
Kalau dulu guru adalah sumber informasi, sekarang informasi ada di mana-mana, di Google, YouTube, TikTok, bahkan ChatGPT. Maka, peran guru harus berubah:
a. Dari “pemberi informasi” → jadi fasilitator belajar
Guru memandu bagaimana murid memilih informasi yang benar, bukan sekadar menghafal. Peran guru kini tidak lagi sebatas sebagai pemberi informasi, tetapi telah bergeser menjadi fasilitator belajar. Guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan pendamping yang menciptakan lingkungan belajar aktif, kolaboratif, dan bermakna. Dengan memberikan arahan, sumber belajar, serta kesempatan eksplorasi, guru membantu peserta didik menemukan, mengolah, dan mengembangkan pengetahuan secara mandiri sesuai dengan kebutuhan dan potensinya.
b. Dari “pencatat RPP” → jadi arsitek pengalaman belajar
Guru merancang pembelajaran yang bermakna, penuh interaksi, dan kontekstual. Peran guru tidak lagi sebatas sebagai pencatat RPP yang hanya memenuhi administrasi, tetapi berkembang menjadi arsitek pengalaman belajar. Guru merancang pembelajaran yang bermakna, kreatif, dan kontekstual, sehingga setiap kegiatan di kelas bukan sekadar menjalankan rencana, melainkan menghadirkan pengalaman yang melibatkan emosi, rasa ingin tahu, dan keterampilan berpikir kritis. Dengan demikian, proses belajar menjadi lebih hidup dan memberikan dampak nyata bagi perkembangan peserta didik.
c. Dari “pelaksana kurikulum” → jadi pembentuk karakter
Guru hadir sebagai teladan nilai, bukan sekadar pembaca buku teks. Guru masa depan adalah inovator, pendamping emosional, dan penggerak budaya belajar. Itulah yang tidak bisa digantikan AI. Guru kini tidak hanya berperan sebagai pelaksana kurikulum, tetapi juga sebagai pembentuk karakter peserta didik. Kurikulum hanyalah pedoman, sedangkan nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, empati, dan tanggung jawab perlu ditanamkan melalui keteladanan dan interaksi sehari-hari. Melalui pembelajaran yang berpihak pada murid, guru membimbing mereka menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga berakhlak mulia dan siap menghadapi tantangan kehidupan.
AI Sebagai Mitra, Bukan Lawan
Alih-alih memusuhi AI, gunakan AI sebagai asisten pribadi. Beberapa tips:
- Gunakan AI untuk tugas administratif
Manfaatkan kecerdasan buatan untuk menyelesaikan pekerjaan administratif seperti penyusunan RPP, pembuatan bahan ajar, atau soal latihan. Dengan bantuan AI, guru dapat menghemat waktu yang biasanya habis untuk pekerjaan teknis, sehingga energi dan perhatian bisa dialihkan ke hal yang lebih penting, yaitu interaksi dan pembelajaran bermakna bersama siswa. - Kustomisasi dengan sentuhan manusiawi
Hasil yang diberikan AI bukan produk final. Guru perlu menyesuaikannya agar sesuai dengan konteks dan budaya lokal. Misalnya, jika AI memberikan contoh “John membeli apel”, kita dapat mengubahnya menjadi “Andi membeli durian di pasar Sunggal” agar lebih dekat dengan pengalaman nyata siswa. Inilah nilai tambah guru sebagai pendidik yang memahami karakter dan lingkungan peserta didik. - Fokus pada interaksi di kelas
Setelah pekerjaan administratif selesai dengan cepat, gunakan waktu yang tersisa untuk membangun koneksi dengan siswa. Ajak mereka berdiskusi, mendengar cerita, dan melakukan proyek kreatif yang menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan empati. Interaksi inilah yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, karena kehangatan manusia tetap menjadi inti pendidikan. - Ajarkan literasi digital
Peran guru juga mencakup membimbing siswa agar bijak menggunakan teknologi. Jangan biarkan mereka hanya menjadi konsumen konten, tetapi dorong mereka menjadi pencipta karya positif, seperti membuat poster, menulis artikel, atau memproduksi video edukasi. Dengan literasi digital yang kuat, siswa tidak hanya melek teknologi, tetapi juga bertanggung jawab dalam menggunakannya.
Guru Tidak Akan Tergantikan
AI mungkin bisa mengajar, tetapi AI tidak akan pernah mendidik. Sebab mendidik membutuhkan hati, empati, dan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah perbedaan mendasar yang menjadikan peran guru tetap istimewa di era teknologi.
Di masa depan, guru bukan lagi sekadar pengajar, melainkan mentor, motivator, dan sahabat belajar. Guru yang mampu menggabungkan teknologi dan sentuhan kemanusiaan akan menjadi kunci keberhasilan pendidikan. Dengan peran ini, guru tidak tergantikan, justru semakin relevan untuk membimbing generasi penerus.
Jadi, jika ada yang mengatakan, “AI bisa bikin RPP, guru nggak diperlukan,” jawablah dengan tenang, “Justru dengan AI, kami punya waktu lebih banyak untuk mendidik.” Guru hebat bukan yang takut teknologi, tetapi yang memanfaatkannya untuk memanusiakan pendidikan.
Salam Bapak Ibu Guru Hebat!!!!!!
Dari Sunggal Menyala!!!!!!
Tinggalkan Balasan