Apakah Modul Ajar Kita Benar-Benar Memulai dari Tujuan?

(Pendekatan Understanding by Design – Kritik terhadap Kebiasaan Perencanaan Asal-asalan)

Oleh: Suntoyo, S.Si – SD Negeri 105267 Sei Mencirim

Coba kita jujur sejenak: berapa banyak guru yang membuat modul ajar dengan penuh kesadaran tentang tujuan pembelajaran? Dan berapa banyak yang hanya sekadar copy-paste format agar tidak ditegur Kepala Sekolah?

Di beberapa rapat guru, saya sering mendengar keluhan:

“Yang penting formatnya lengkap, masalah dipakai atau tidak, itu urusan nanti.”

Ironis, bukan? Padahal modul ajar bukan sekadar dokumen administratif. Ia seharusnya menjadi kompaspembelajaran, peta jalan yang menuntun guru untuk memastikan siswa benar-benar memahami pelajaran.

Pertanyaan ini menggugah: Apakah modul ajar kita benar-benar memulai dari tujuan, atau sekadar mengikuti template?”

Modul Ajar Tanpa Arah

Kebiasaan lama masih membayangi banyak guru. Modul ajar dianggap hanya syarat administratif yang penting rapi, banyak halaman, dan sesuai format terbaru. Akibatnya, fokus berpindah dari apa yang murid butuhkan ke apa yang diminta atasan.

Beberapa masalah umum di lapangan:

  1. Tujuan tidak jelas atau terlalu umum. Banyak modul hanya mencantumkan tujuan “menghafal” tanpa mengarah pada keterampilan berpikir tingkat tinggi.
  2. Tidak ada kaitan dengan penilaian. Kadang, soal ulangan tidak nyambung dengan tujuan awal modul.
  3. Aktivitas belajar monoton. Guru sering hanya menyalin contoh kegiatan belajar dari dokumen lain, tanpa memikirkan apakah kegiatan tersebut relevan untuk siswa mereka.

Modul ajar seharusnya bukan sekadar formalitas. Ia adalah jantung pembelajaran. Ketika modul disusun asal-asalan, pembelajaran pun kehilangan arah. Siswa hanya bergerak mengikuti rutinitas, tanpa memahami “mengapa mereka belajar ini?”

Konsep UbD: Memulai dari Tujuan

Understanding by Design (UbD) yang diperkenalkan oleh Grant Wiggins dan Jay McTighe menawarkan pendekatan berbeda. Prinsip utamanya adalah backward design, memulai dari hasil akhir yang diinginkan, bukan dari kegiatan yang ingin dilakukan guru.

Ada 3 tahap dalam UbD:

  1. Identify Desired Results (Menentukan hasil belajar): Guru bertanya, “Apa yang harus siswa pahami setelah pembelajaran ini?”
  2. Determine Acceptable Evidence (Menentukan bukti pencapaian): Guru menyiapkan penilaian yang membuktikan bahwa siswa benar-benar memahami materi.
  3. Plan Learning Experiences (Merancang pengalaman belajar): Baru setelah itu guru merancang kegiatan belajar yang menarik, relevan, dan mendukung pencapaian tujuan.

Pendekatan ini menuntut guru berpikir terbalik: mulai dari tujuan, bukan dari aktivitas. Dengan cara ini, modul ajar bukan sekadar daftar kegiatan, tapi benar-benar dirancang untuk menciptakan pembelajaran bermakna.

Lebih jauh, UbD menuntut guru untuk benar-benar memahami profil peserta didik serta kompetensi inti yang ingin dicapai. Modul ajar berbasis UbD menekankan bahwa setiap aktivitas pembelajaran harus memiliki keterkaitan langsung dengan tujuan dan bukti capaian yang jelas. Dengan cara ini, siswa tidak hanya mengerjakan tugas, tetapi juga memahami alasan di balik tugas tersebut

Studi Kasus

Saya pernah mengamati dua guru yang sama-sama mengajar tema “Hidup Rukun.”

  • Guru A membuat modul ajar dengan tujuan umum: “Siswa memahami pentingnya hidup rukun.” Kegiatan belajarnya hanya diskusi singkat dan menyalin materi.
  • Guru B menggunakan prinsip UbD. Tujuan belajarnya lebih tajam: “Siswa dapat memberi contoh perilaku hidup rukun di rumah dan sekolah.” Untuk bukti pencapaian, siswa diminta membuat poster “Aksi Rukun di Sekolah.” Aktivitasnya kreatif: siswa berdiskusi, berbagi pengalaman, lalu menggambar.

Hasilnya berbeda jauh. Di kelas Guru B, siswa lebih antusias dan mampu memberi contoh konkret tentang hidup rukun. Modul ajar Guru B bukan hanya rapi di kertas, tapi juga hidup di kelas.

Dari situ saya sadar: Modul ajar yang baik bukan yang tebal, tapi yang tepat sasaran.

Cara Membuat Modul Ajar Berbasis UbD

Bagaimana kita memulai? Berikut langkah praktis:

1. Tentukan Tujuan yang Jelas dan Spesifik
Jangan hanya menulis “siswa memahami,” tapi gunakan kata kerja operasional seperti “menganalisis,” “mencipta,” atau “menerapkan.” Setiap tujuan harus relevan dengan capaian pembelajaran di Kurikulum Merdeka.

2. Rancang Penilaian yang Selaras
Jika tujuan adalah “siswa bisa bercerita,” maka penilaiannya harus berupa kegiatan bercerita, bukan sekadar soal pilihan ganda. Penilaian harus disiapkan sebelum kegiatan belajar dilakukan agar arah pembelajaran lebih jelas.

3. Buat Aktivitas yang Relevan dan Menyenangkan
Aktivitas belajar harus dekat dengan dunia anak. Misalnya, untuk tema lingkungan, siswa bisa melakukan pengamatan sekitar sekolah, wawancara dengan warga, atau membuat video kampanye kebersihan. Guru harus kreatif merancang kegiatan yang menumbuhkan rasa ingin tahu.

4. Pastikan Ada Koneksi Antarbagian Modul
Tujuan, penilaian, dan aktivitas harus saling mendukung. Modul ajar berbasis UbD menuntut konsistensi: jika tujuan adalah kemampuan analisis, kegiatan dan penilaiannya pun harus mengasah analisis.

5. Evaluasi dan Revisi Modul Secara Berkala
Modul ajar yang baik bukan dokumen mati. Ia harus dievaluasi setiap kali selesai digunakan, diperbaiki, dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Guru juga dapat meminta umpan balik dari siswa tentang apa yang mereka sukai atau tidak dalam kegiatan pembelajaran.

Guru sebagai Perancang Pengalaman Belajar

Di era kurikulum merdeka, guru bukan hanya penyampai materi, tapi arsitek pengalaman belajar. Modul ajar adalah rancangan bangunan pembelajaran yang menentukan apakah siswa akan sekadar “mampir” atau “berkesan” dalam belajar.

Jika modul hanya dibuat untuk formalitas, maka hasilnya juga akan formalitas: siswa hafal sebentar, lalu lupa. Tapi jika modul disusun dengan kesadaran tujuan yang jelas, maka pembelajaran akan bermakna, mendalam, dan menyenangkan.

Jadi, sebelum kita bertanya “sudah lengkap belum modul ajar kita?” mari tanya hal yang lebih penting: “Apakah modul ini sudah benar-benar mengantarkan siswa menuju tujuan belajar?”

Daftar Pustaka

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by Design. ASCD.

Wiggins, G., & McTighe, J. (2011). The Understanding by Design Guide to Creating High-Quality Units. ASCD.

Fullan, M. (2014). The Principal: Three Keys to Maximizing Impact. Jossey-Bass.

Tomlinson, C. A. (2017). How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms. ASCD.

Marzano, R. J. (2007). The Art and Science of Teaching. ASCD.

Dewey, J. (1938). Experience and Education. Kappa Delta Pi.

Bruner, J. (1960). The Process of Education. Harvard University Press.

Lickona, T. (1991). Educating for Character. Bantam Books.

Mulyasa, E. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kemendikbudristek. (2022). Panduan Pembelajaran dan Modul Ajar Kurikulum Merdeka. Jakarta: Direktorat GTK.

Kemdikbudristek. (2022). Kurikulum Merdeka. https://kurikulum.kemdikbud.go.id

Direktorat GTK. (2023). Modul Ajar dan Implementasi. https://guru.kemdikbud.go.id

Edutopia. (2021). Backward Design in Education. https://www.edutopia.org

UNESCO. (2020). Future of Learning. https://en.unesco.org/futuresofeducation

Harvard Graduate School of Education. (2022). Teaching and Learning Frameworks. https://www.gse.harvard.edu


Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *